cerpen : いっぱい チョコレート (SEMANGKOK COKLAT)
いっぱい チョコレート
(SEMANGKOK COKLAT)
Ku
masukkan potongan coklat ukuran kotak tersebut ke dalam tempat makan
kecil sebagai teman perjalananku menuju kampus nanti. Sesekali aku
mencomotnya karena baunya yang menggambarkan kelezatan. Ini adalah kali
pertamaku membawa coklat yang dengan sengaja akan aku memakannya saat di
dalam bis nanti. Sebelumnya–tepat pada saat aku mengikuti ospek di
kampus baruku beberapa hari yang lalu–aku tidak pernah mengunyah coklat
sepanjang perjalanan. Mungkin suntuk menunggu di dalam bus dengan
keadaannya yang khas dengan panas dan padatnya, membuatku meng-improve kebiasaanku dengan mengunyah manisnya coklat.
Sesampainya
aku di halte bus yang tidak terlalu jauh dari rumah pamanku–kini
sebagai tempat tinggalku–aku langsung membenahi kemeja biru mudaku dan
rok panjang hitamku. Ku pandangi lalu lalang kendaraan–mulai dari sepeda
hingga busway kota–yang ‘lari-lari’ di jalanan sepagi ini. Memang benar-benar kota besar.
Tak lama kemudian, bus menuju kampusku itu tiba. Sang
kondektur yang sudah ku kenal, mempersilakanku masuk dengan gaya bak
pelayan putri raja. Hanya tertawa kecil yang kulempar padanya.
Aku
memilih duduk di pinggir jendela dan menatapi ‘kota yang berjalan’
seiring getaran bis yang sangat terasa oleh kepalaku yang sengaja aku
sandarkan di jendelanya. Hm, bau bis. Memusingkan! Rindupun merasukiku,
akan motor bapak yang dulu setia mengantarkanku.
Sepuluh
menit berlalu, aku teringat dengan semangkok coklat yang aku bawa.
Langsung saja kubuka ransel hitamku. Lumayanlah sebagai pengganjal perut
di hangatnya cahaya mentari yang menembus lewat jendela bis yang sudah
agak buram itu.
Pandanganku
dari ramainya suasana terhenti sejenak saat seorang gadis baru saja
menaiki bis yang juga ku tumpangi. Ia duduk di sebelahku. Tersenyum aku
dengan tangan menyodorkan semangkok coklat. Ia menggelengkan kepalanya
sambil melemparkan senyum.
“Maaf, kak. Saya takut nanti saya mabok kalo makan coklat pagi-pagi begini.”
Kepalaku tertarik ke belakang mendengar pernyataannya. “Oh ya?”
“Iya,” ujar gadis berpakaian putih biru itu mengangguk mantap.
“Oh… Ya sudah. Maaf ya, dik. Kakak biasanya mudah nggak sadar diri kalo di atas bis. Entahlah kenapa. Bawaan dari kecil.”
Ia hanya tertawa.
Tiba-tiba
ada suara gitar kecil dari balik jendela bis. Seorang gadis kecil
ternyata. Ada rasa iba menyelimutiku. Kota sebesar ini, ternyata masih
menyimpan cerita kecil yang terkadang akupun lalai untuk berbagi. Tanpa
berlama-lama, ku buka dompetku dan memberinya beberapa lembar uang. Ia
terpaku dengan pemberianku itu. Ah, mungkin kurang. Lalu, ku ingat
semangkok coklat yang ku pegang. Lalu, memberikannya juga. Semua.
“Ambillah!” Akupun teringat dengan kata bapak dulu, dan akupun mengucapkan kalimat yang sama seperti yang pernah bapak ucapkan.
“Ini sebagai hutangku kepada kalian yang selama ini tidak pernah membuka mata untuk dunia kecil yang keras.”
Ingin jatuh rasanya air mata ini saat melihat mimik wajah gadis itu yang merah merona saat menerima semangkok coklat.
Teman, do’amu sangat berarti dalam kehidupanku di kota ini. Do’akan saja agar hidupku bisa lebih bermanfa’at untuk kalian, seruku dalam hati
Bis
ku pun melaju kembali. Kini lebih pelan. Menuntun kendaraan di depannya
yang ‘kurang lincah’ melewati kendaraan-kendaraan yang berbaris rapi.
Hm, dasar kota besar.
---
Siang.
Pukul 14.50 wib. Bis yang aku tumpangi mogok. Aku menggerutu di dalam
hati atas kejadian yang untuk pertama kalinya ku alami ini. Aku mencoba
mencari bis yang lain. Namun, semua bis yang hendak aku tumpangi
menyebut dengan alasan yang sama, penuh.
Aku
putuskan untuk duduk di pinggir trotoar jalan. Menunggu bus berikutnya
atau menunggu supir beserta kondekturnya membenahi sesuatu yang menjadi
kendala bis ini mogok. Tak jauh setelah itu, ku lihat ada seorang anak
perempuan duduk makan di seberang jalan. Tepatnya di trotoar. Ku tatap
tempat makannya yang sama dengan tempat makan yang ku beri pada gadis
pengamen tadi pagi. Ah, mana mungkin. Tempat makan itu kan bisa dibeli
di mana saja. Waktu ku beli pertama kali, tempat makan itu tinggal tiga.
Persis bentuk dan warnanya.
Terus
ku tatapi anak itu. Hingga tampak jelas apa yang ia makan. Ternyata
batangan kecil coklat seperti yang aku bawa tadi pagi. Kemudian, ada
seorang gadis yang datang menghampirinya yang tak lain adalah gadis
pengamen yang kutemui tadi pagi. Mulia sekali anak itu sampai-sampai di
tengah himpitan gedung tinggi ini pun ia masih ingat dengan saudaranya.
Tuhan, beri ia apa yang ia inginkan karena ku tahu Engkau Maha Adil.
***
Ku buka jendela kayu yang sesekali berderit itu. Cahaya mentari belum menembus tirai kain lusuhku itu. Berarti waktuku menggarap rejeki belum terlambat.
Ada
derap mesin bergetar di kamar sebelah. Aku tersenyum melihat senyum ibu
yang mengembang sambil tangannya gesit menarik ulur pakaian yang kini
ia jahit di mesin jahit peninggalan ayah. Syukurlah, sakitnya sudah agak
berkurang. Mungkin lebih butuh istirahat lagi untuk menghilangkan
batuk-batuk yang menganggu aktifitasnya.
”Bu,
Isna pergi dulu ya! Kalo ketemu ayah di dalam mimpi ibu nanti, titipkan
salam untuknya dari anaknya yang selalu merindukannya.”
“Iya,
nak. Nanti ibu sampaikan salam dan pesanmu pada ayah,” ujar ibu sambil
mengecup keningku. Lama sekali. Ingin rasanya aku menangis saat ini,
namun waktu tak memungkinkan untukku bermanja-manja dengan ibu.
Lalu,
aku langsung berlari keluar dari pemukiman kumuh itu bersama tiga
temanku lainnya yang sama-sama mencari nafkah dalam usia yang mungkin
masih diwajibkan untuk duduk di bangku sekolah, mendengarkan ceritera
dari seorang pendongeng yang jenius.
Pagi
ini kendaraan sedang ganas-ganasnya meraung di himpitan gedung-gedung
tinggi nan mewah. Aku menunggu lampu jalan itu memerah. Dan selang
beberapa menit lampu itu seakan-akan memanggil kami untuk segera berlari
menuju kasih dari orang-orang yang berada di dalam mobil, bis bahkan
motor.
Aku
menghampiri sebuah bis yang sepertinya dipenuhi oleh pelajar dan
mahasiswa. Kemudian, ku nyanyikan sebuah lagu yang mungkin sudah umum di
kalangan mahasiswa dari balik jendela bis yang buram itu–karena tak
mungkin aku menaiki bis yang penuh itu.
Perempuan
berjilbab biru muda–di mana ku nyanyikan lagu–itu menoleh ke arahku.
Menatapku cukup lama, kemudian menunduk. Semoga ia membagi rezekinya
untukku hari ini. Kemudian tangannya yang dibaluti oleh baju lengan
panjang–yang berwarna biru pula–disodorkan keluar jendela sambil
memberiku lima lembar uang ribuan. Wajahku tertunduk. Syukurku pun
teriring pagi itu. Ada genangan air yang terbendung di balik mata yang
mungkin masih memerah karena masih diselimuti pagi. Kemudian,
dikeluarkannya pula tempat makan berwarna hijau muda itu kepadaku. Aku
terdiam menatapi tempat makan plastik itu, lalu bimbang harus berbuat
apa. Menerima sungkan, menolak tidak enak.
“Ambillah!
Ini sebagai hutangku kepada kalian yang selama ini tidak pernah membuka
mata untuk dunia kecil yang keras.” Ucapannya mengangkat wajahku untuk
berani menatap wajahnya. Kebeningan wajah itu terpancar seiring
senyumannya yang mengembang.
Air mataku benar-benar jatuh saat itu juga. Untuk pertama kalinya aku diperlakukan selayaknya seorang teman. Semoga Tuhan yang membalasmu, kak.
Bis
itupun berjalan. Menyisakan kebaikan dan satu senyuman yang tertinggal
di hembusan asap knalpot. Kakak perempuan itu benar-benar orang pertama
yang memberiku sebuah arti dari ‘dunia kecil’ yang selama ini aku
tempati. Terima kasih, kak. Semoga kakak mampu menjadi motivator bagi
‘kami’ di tempat-tempat lainnya nan jauh di sana.
Aku
segera menyemberangi padatnya jalanan. Kemudian duduk di trotoar, ingin
tahu apa yang kakak itu beri. Ternyata coklat batang yang lezat.
Kembali tangisku pecah di tengah bisingnya kehidupan pagi ini. Tuhan,
berapa besar nikmat-Mu hari ini. Berilah ia nikmat-Mu yang
sebenar-benarnya nikmat dari nikmat kehidupan ini. Amin.
Kemudian,
ku bekerja kembali dengan membawa nyanyian. Namun, kali ini aku diberi
uang dengan wajah yang datar dan dingin hingga hangatnya siang terasa
menggigit di kulitku. Kemudian, aku duduk di trotoar. Menghitung
penghasilan yang aku dapatkan hari ini.
“Na,
ibumu sakit!” ujar Dian, temanku tiba-tiba. Aku tercengang
mendengarnya. Langsung berdiri menggoncang-goncangkan tubuh Dian yang
kecil.
“Sakit apa, Yan? Dimana ibuku sekarang!?”
“Ia sekarang di rumah. Ayo!”
Akupun berlari menuju rumahku yang tidak terlalu jauh dari tempat kerjaku. Ku lihat ibu sedang memejamkan mata, ditemani oleh para tetangga yang menemaninya selama aku bekerja.
“Bu…?” ujarku lirih, menahan isak tangis.
Ibuku membuka mata, kemudian tersenyum.
“Ibu kenapa?”
“Ibu… nggak apa-apa kok, nak. Cuma tadi ibu ketemu bapak.”
“Bapak? Dimana, bu?”
“Di sebelah ibu, waktu ibu menjahit nak.”
Aku berusaha tersenyum mendengarnya, menahan gejolak pilu di dalam jiwa.
“Apa pesanmu untuk bapak, nak?”
Aku
menahan gemuruh tangis di balik jiwa, karena ku tahu setelah aku
menyampaikan salamku untuk bapak, maka siapa yang akan menyampaikan
salamku untuk ibu?
“Jaga ibu dengan baik.”
Ibu
tersenyum kemudian perlahan menutup mata. Aku menangis
sekencang-kencangnya dan memeluk tubuhnya erat, karena belum rela
nyawanya diambil oleh para malaikat. Lalu, aku bangkit bersama keyakinan
yang telah lama aku yakini selama ini, dari bapak dan ibu. Dan semangat
dari kakak berjilbab itu.
“Ibu…
Isna mengerti tentang dunia kecil kita ini. Sekecil apapun hidup kita,
masih ada… yang lebih kecil lagi dari jiwa kita. Isna harap… Isna nggak
punya hati sekecil jiwa mereka yang besar. Dan Isna janji… Isna bakalan
jaga hati Isna… untuk tetap percaya… kalo bapak dan ibu… bahagia bersama
catatan kecil… yang Tuhan titipin buat bapak… dan ibu… Do’akan anakmu ini ya bu, pak! Biar… Isna mampu hidup bersama… meski sekarang… Isna sendiri tanpa bapak… sama ibu…”
Aku
menciumi pipi ibuku yang kini pucat pasih bersama senyum kecilnya yang
semakin meyakinkanku bahwa sekarang ibu bahagia bersama kehidupannya
yang lebih terjamin bersama kutipan ayat-ayat rindu Tuhan. Ingin
menyusul, namun mungkin akan ku temui tempat yang lebih menyeramkan dari
dunia ini dan tidak akan ku temui ibu dan ayah ridho di sana.
“Nak,
sekarang Isna keluar dulu ya. Ibu sama warga yang lain mau mandiin
jenazah ibu Isna dulu, ya,” ujar Bu Rima, tetangga yang selalu membantu
kekurangan keluarga kami itu membuyarkan niatku untuk menyusul ibu.
Aku mengangguk, “Iya, bu. Tapi, boleh Isna minta satu permintaan?”
“Apa itu, nak?”
“Jangan panggil ibu Isna jenazah, ya!” Aku langsung berdiri tanpa mengetahui respon apa yang akan bu Rima utarakan denganku.
Kemudian
ku keluar dari rumah sambil membawa semangkok coklat berjalan-jalan di
hangatnya mentari siang ini. Sengaja mencari penyejuk hati dari bathin
jiwa yang meronta-ronta karena belum dan bahkan tidak siap untuk
kehilangan teman hidup. Setelah agak jauh berjalan dari rumahku–masih
tetap berada dalam kawasan kumuh kota–mataku menangkap sesuatu yang
sedang berjalan gontai di sepanjang jalan setapak tanah merah ini.
Badannya kecil dan pakaiannya sudah kusam.
Aku mencoba menghampirinya. “Siang, dik!”
Dia memberhentikan kakinya yang beralaskan tanah. Mungkin ia kaget dengan keramahanku dengannya.
“Maaf, kalo sebelumnya kakak mengagetkanmu. Kakak cuma prihatin.”
Ia
masih saja diam sambil memegang perutnya yang kelihatannya membuat ia
gontai dalam berjalan dan lemah dalam berbicara meski sepatah katapun
padaku.
“Lapar, ya? Kakak bawa coklat. Nggak banyak sih tapi semoga cukup untuk mengganjal perut. Kita makan di dekat jalanan, yuk!”
Ia
hanya mengangguk. Kemudian, kuraih tangannya dan menggenggam jemarinya
yang legam karena matahari yang membakarnya untuk begitu banyak hari
yang ia lewati.
Kami
duduk di trotoar jalan yang membawa ‘sapaan lembut’ asap dan knalpot
yang sesekali membahana karena pantulannya dengan gedung-gedung tinggi
kota. Pemandangan yang hanya kami bisa menikmatinya, bukan orang-orang
putih dan berjas.
“Adik
mau minum?” tanyaku padanya yang lagi-lagi hanya diam dan tundukan yang
ia beri untukku. Namun, ku maksudkan ‘iya’. Aku berjalan menuju warung
asongan di pinggir jalan dan membeli dua kemasan gelas air mineral.
Aku
menyodorkan air minum itu kepadanya yang sedang asyik mengunyah coklat.
Aku hanya bisa tersenyum melihatnya. Terima kasih kakak, kau beri aku
sebuah pelajaran untuk hari ini berkat semangkok coklatmu. Dan, lewat
semangkok coklat ini akan menjadi bekal dan pemanis kehidupan ku kelak.
“Kak!” seru anak itu tiba-tiba.
“Ya?” tanyaku heran sekaligus lega. Akhirnya, ia mengeluarkan suaranya juga.
“Makasih
ya udah ngasih coklat ini untuk aku. Aku… baru hari ini nemuin orang
sebaik kakak. Selama ini, tiap kali aku lewat di depan mereka, mereka
seakan-akan menutup mata bahkan menutup telinga dari seretan kakiku ini.
Aku mau nanya, kenapa kakak mau nolong aku?”
“Coklat
yang kakak kasih buat kamu itu tadinya juga pemberian orang, dik. Kakak
cuma pengen belajar dari kebaikan kakak itu. Kakak ingat apa yang ia
katakan sama kakak tadi pagi, ‘Ambillah! Ini sebagai hutangku kepada
kalian yang selama ini tidak pernah membuka mata untuk dunia kecil yang
keras’. Kakak bersyukur masih bisa hidup dan kakak ingin hidup kakak
berguna untuk orang lain, meski kakak terkadang dianggap ‘orang-orang
yang punya sedan’ kakak nggak ada gunanya karena kakak hanya bisa
ngamen. Kakak juga ngucapin terima kasih banyak untuk adik yang udah
ngasih kakak kesempatan untuk berbuat baik.”
“Aku
cuma seorang anak yang terlantar karena dibuang oleh kedua orang tuaku.
Mereka sebenarnya bukan orang tua kandungku, melainkan orang tua
tiriku. Aku fikir setelah aku bersama mereka, sepeninggalnya kedua orang
tuaku, hidupku akan semakin membaik, tapi ternyata hidupku semakin
sengsara. Namun, setelah aku ketemu sama kakak, aku ngerasa beruntung.
Kalo aku nggak dibuang, mungkin aku akan tersiksa lahir bathin bersama
kesangaran dua orang itu dan tidak akan belajar makna hati lewat
semangkok coklat ini bersama kakak dan kakak yang ngasih kakak coklat
ini.”
Aku
mengangguk penuturan panjang lebarnya. Coklat itu memberi sebuah arti
yang begitu berharga. “Dik, mau nggak tinggal sama kakak? Kakak sendiri
di rumah.”
“Mau, kak.” Ia menangis dan kemudian memelukku.
“Sebenarnya,
tadi pagi kakak masih tinggal sama ibu kakak. Tapi, mungkin ibu kakak
sudah merindukan rumahnya yang ia titipin di sisi Tuhan, makanya ia
pulang. Dan sekarang raga ibu kakak sedang dirawat oleh
tetangga-tetangga kakak. Mungkin, nanti setelah kakak pulang, kakak
hanya akan temui ibu kakak dengan pakaian barunya.” Air mata menitik
lembut di pipiku. Memberi kesegaran karena terbakar teriknya matahari
siang.
“Oh… Sekarang kakak sendirian?”
“Nggak,
dong! Sekarang kan kakak bersama adik kakak yang baru. Oh ya, lucu juga
ya. Udah lama kita sama-sama, tapi kakak belum tahu namamu.”
“Namaku Aisyah, kak.”
“Oh… Kalo kakak, kak Isna.”
Kami
tertawa lepas di siang yang terik itu. Rasanya sulit untuk bercerita
karena hati ini terlalu lelah termakan gersang. Biarlah nanti akan
ada–entah siapa–yang mampu memberi kesan terakhir dan terindah untuk
pertemuan singkat yang terjadi hari ini. Dan juga kisah yang takkan
berakhir lewat semangkok coklat.
Bu,
Pak. Tuhan Maha Adil. Dengan perginya kalian, melahirkan cerita baru
untuk Isna hari ini dan nanti. Terima kasih, semoga Aisyah menjadi teman
Isna hingga kita berkumpul lagi nanti.
***