Cegah Stunting Demi Masa Depan yang Gemilang
Pagi hari adalah waktu tersemangat bagiku. Ditambah lagi pagi itu aku harus bergegas pergi ke salah satu kampus ternama di kotaku untuk mengikuti kegiatan kepenulisan berkaitan dengan masalah yang sedang hangatnya diperbincangkan, yaitu stunting. Meskipun pendidikanku telah berulang kali menjelaskan stunting secara teoritis, namun tanpa peluang praktik di lapangan ilmu itu tidak akan tertempel dengan jelas di benakku. Dan benar saja, teman-temanku yang mengikuti kegiatan itu telah berkumpul di aula, berbaur dengan peserta lainnya yang memiliki latar belakang berbeda tentunya. Bukan hanya berasal dari pendidikan yang berlatar belakang kesehatan, namun ada yang teknik, guru, bahkan pertanian. Seolah menjelaskan bahwa masalah stunting bukan hanya menjadi tanggungjawab seorang tenaga kesehatan, namun juga seluruh lapisan masyarakat dengan latar belakang pendidikan, sosial yang berbeda. Perjalanan kami menggunakan 2 bus besar, menembus jalanan macet kota Palembang menuju lokasi.
Pintu bus terbuka dan
kami berbondong-bondong keluar. Berjalan beriringan menelusuri sebuah gang yang
cukup besar dan terdapat rumah besar dan bagus di kanan kiri. Suasana tampak
sepi. Belum terbayang dibenak hal apa yang akan ditemui dari tempat yang sebagus
dan sesepi ini.
Namun tanya itu segera
terjawab setelah memasuki sebuah lorong yang semakin kecil dan menyempit dari
gang yang menyambut kedatangan kami di awal. Lorong yang berbelok-belok
menghantarkan kami menuju suatu tempat. Pemukiman yang padat penduduk, rumah
yang berhimpit-himpitan hingga tumpukan sampah yang tak terjaga turut menghiasi
kepadatan itu.
Hari itu keadatangan kami bersamaan dengan terselenggaranya
kegiatan posyandu. Riuhnya peserta membuyarkan suara keras yang dikeluarkan
kader posyandu melalui microphone saat menyebutkan nomor urut.
Meski peluh mengalir deras di wajah para kader posyandu, mereka tetap
memberikan pelayanan terbaik bagi peserta yang sudah menyempatkan diri hadir di
Posyandu Anyelir, Dempo, Palembang.
Stunting atau
“pendek” merupakan suatu kondisi dimana status gizi balita yang kurang
berdasarkan indeks tinggi badan menurut umur (TB/U) dan kurang dari batas -2 SD
dari hasil perhitungan Z-Score. Stunting merupakan masalah
kesehatan gizi balita yang sering terjadi di negara-negara berkembang, salah
satunya Indonesia. Hal ini diperkuat dengan data dari Riset Kesehatan Dasar
tahun 2013 bahwa kejadian Stunting pada balita di Indonesia
masih sangat tinggi mencapai 37,2% dan mengalami peningkatan dari tahun
sebelumnya yaitu 35,6% di tahun 20101. Didukung pula dengan anggapan
bahwa stunting adalah hal biasa di lingkungan masyarakat karena
paradigma yang muncul di kalangan awam stunting atau pendek
bukan suatu masalah dan hadirnya disebabkan faktor keturunan (genetik) yang
berasal dari kedua orang tua yang juga bertubuh kecil. Perlu diketahui
bahwa tubuh pendek, faktor
penyebab terpenting adalah lingkungan hidup sejak konsepsi sampai anak usia 2
tahun dan dapat dirubah serta diperbaiki (WHO, 1997) (Barker, 1995)2.
Ani, seorang peserta Posyandu Anyelir, saat ditanya mengenai
kondisi gizi buruk dan kurang di lingkungannya, ia mengatakan bahwa balita yang
mengalami gizi buruk dan kurang itu sama. Sama-sama memiliki tubuh yang kecil
dan tidak sesuai dengan umurnya.
“Di sini banyak balita yang kurus. Itupun dari ibunya yang juga
kurus. Biasanya balita yang sakit gizi buruk dibawa ke Puskesmas untuk mendapat
bantuan. Bantuannya berupa makanan, obat-obatan, kadang diberi hadiah berupa
uang”, ujar Ani.
Riwayat pola dan kondisi kesehatan sang ibu sangat berpengaruh
terhadap perkembangan kesehatan anak. Ibu yang kurus dan pendek waktu usia 2 tahun cenderung bertubuh
kurus dan pendek pada saat menginjak dewasa. Dikenal istilah Lingkar Lengan Atas sebagai
indikator bagi calon ibu untuk memiliki anak karena jika angka LLA di bawah
23,5 cm dan tidak dilanjutkan dengan perbaikan status gizi dan kesehatan
sebelum dan selama kehamilan, maka berat badan bayi yang dilahirkan akan rendah
dan tinggi badan juga akan kurang. Meski nanti di usia meranjak balita menerima
asupan yang baik dan status gizi menjadi normal, tidak akan berpengaruh
terhadap perkembangan kecerdasannya. Bahkan di usia dewasa, ia akan menjadi
kurang produktif.
Maka di sinilah kita diajak untuk lebih memahami lagi yang disebut
gerakan 1000 Hari Pertama Kehidupan. 1000 HPK ini dimulai dari usia kehamilan
sembilan bulan hingga bayi yang dilahirkan menginjak usia 2 tahun dan periode
ini merupakan periode yang menentukan kualitas kehidupan. Ada yang
menyebutnya sebagai "periode emas" dan "periode
kritis"3. 1000 HPK juga dipercaya berkontribusi dalam
menentukan generasi Indonesia ke depannya, termasuk stunting atau
tidakkah balita ini kelak.
Jika selama 1000 hari pertama kehidupan ibu dan orang terdekat
calon bayi memperbaiki status gizi dan perilaku kesehatan mulai dari kecukupan
LLA, memperhatikan kebersihan lingkungan, cukup akses terhadap air bersih, cuci
tangan pakai sabun, tidak buang air sembarangan, makan makanan yang bergizi,
rajin konsumsi tablet tambah darah, memberikan ASI Eksklusif dan rajin memantau
petumbuhan balita, maka akan semakin banyak generasi masa depan bangsa
Indonesia yang sehat dan cerdas. Juga masalah gizi kurang kronis dan gizi buruk
akut dapat ditekan perkembangannya sehingga bantuan yang disalurkan pemerintah
dapat terfokus dalam pengadaan pelatihan dan peningkatan pengetahuan ibu dalam
memahami gizi dan kesehatan untuk sang anak dan keluarga. Selain ibu dan calon
ibu, kader-kader kesehatan lainnya juga perlu mendapatkan pelatihan yang layak
agar dapat memberikan pelayanan yang prima dan lebih terlatih lagi untuk
menentukan status gizi balita melalui penimbangan berat badan dan pengukuran
panjang/tinggi badan balita karena 0,1 cm dalam penentuan status gizi sangat
berarti.
Daftar Pustaka
1 Riset Kesehatan Dasar, 2013.
2,3 Kerangka Kebijakan Gerakan 1000 Hari Pertama Kehidupan, 2013