19 Februari 2015

Pintu bus terbuka dan kami berbondong-bondong keluar. Berjalan beriringan menelusuri sebuah gang yang cukup besar dan terdapat rumah besar dan bagus di kanan kiri. Suasana tampak sepi. Belum terbayang dibenak hal apa yang akan ditemui dari tempat yang sebagus dan sesepi ini.
Namun tanya itu segera terjawab setelah memasuki sebuah lorong yang semakin kecil dan menyempit dari gang yang menyambut kedatangan kami di awal. Lorong yang berbelok-belok menghantarkan kami menuju suatu tempat. Pemukiman yang padat penduduk, rumah yang berhimpit-himpitan hingga tumpukan sampah yang tak terjaga turut menghiasi kepadatan itu.
Gambar 1. Jendela rumah yang tak berventilasi

Gambar 2. Sampah yang dibiarkan menumpuk di sela-sela rumah
Hari itu keadatangan kami bersamaan dengan terselenggaranya kegiatan posyandu. Riuhnya peserta membuyarkan suara keras yang dikeluarkan kader posyandu melalui microphone saat menyebutkan nomor urut. Meski peluh mengalir deras di wajah para kader posyandu, mereka tetap memberikan pelayanan terbaik bagi peserta yang sudah menyempatkan diri hadir di Posyandu Anyelir, Dempo, Palembang.
Gambar 3. Peserta Posyandu yang mendapatkan snack


Banyaknya balita yang datang bersama ibunya membuat rasa ingin tahu muncul mengenai status gizi balita saat itu. Namun, status gizi tidak bisa diinterpretasikan begitu saja lewat pengamatan biasa secara fisik. Perlu melalui tahapan proses untuk menentukannya, mulai dari pengukuran antropometri (berat badan, panjang/tinggi badan) sampai ditentukan dengan perhitungan Z-score sehingga diperoleh hasil interpretasi berupa gizi buruk, kurang, normal, lebih, sangat lebih untuk indeks BB/U, sangat pendek, pendek, normal, tinggi, sangat tinggi menurut indeks TB/U dan sangat kurus, kurus, normal, gemuk, obesitas dalam indeks BB/TB. Dan kini saatnya kita berbicara mengenai status gizi menurut indeks TB/U yang masih dianggap sebagai sesuatu yang lumrah terjadi.
Stunting atau “pendek” merupakan suatu kondisi dimana status gizi balita yang kurang berdasarkan indeks tinggi badan menurut umur (TB/U) dan kurang dari batas -2 SD dari hasil perhitungan Z-Score. Stunting merupakan masalah kesehatan gizi balita yang sering terjadi di negara-negara berkembang, salah satunya Indonesia. Hal ini diperkuat dengan data dari Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 bahwa kejadian Stunting pada balita di Indonesia masih sangat tinggi mencapai 37,2% dan mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya yaitu 35,6% di tahun 20101. Didukung pula dengan anggapan bahwa stunting adalah hal biasa di lingkungan masyarakat karena paradigma yang muncul di kalangan awam stunting atau pendek bukan suatu masalah dan hadirnya disebabkan faktor keturunan (genetik) yang berasal dari kedua orang tua yang juga bertubuh kecil. Perlu diketahui bahwa tubuh pendek, faktor penyebab terpenting adalah lingkungan hidup sejak konsepsi sampai anak usia 2 tahun dan dapat dirubah serta diperbaiki (WHO, 1997) (Barker, 1995)2.
Ani, seorang peserta Posyandu Anyelir, saat ditanya mengenai kondisi gizi buruk dan kurang di lingkungannya, ia mengatakan bahwa balita yang mengalami gizi buruk dan kurang itu sama. Sama-sama memiliki tubuh yang kecil dan tidak sesuai dengan umurnya.
“Di sini banyak balita yang kurus. Itupun dari ibunya yang juga kurus. Biasanya balita yang sakit gizi buruk dibawa ke Puskesmas untuk mendapat bantuan. Bantuannya berupa makanan, obat-obatan, kadang diberi hadiah berupa uang”, ujar Ani.
Riwayat pola dan kondisi kesehatan sang ibu sangat berpengaruh terhadap perkembangan kesehatan anak. Ibu yang kurus dan pendek waktu usia 2 tahun cenderung bertubuh kurus dan pendek pada saat menginjak dewasa. Dikenal istilah Lingkar Lengan Atas sebagai indikator bagi calon ibu untuk memiliki anak karena jika angka LLA di bawah 23,5 cm dan tidak dilanjutkan dengan perbaikan status gizi dan kesehatan sebelum dan selama kehamilan, maka berat badan bayi yang dilahirkan akan rendah dan tinggi badan juga akan kurang. Meski nanti di usia meranjak balita menerima asupan yang baik dan status gizi menjadi normal, tidak akan berpengaruh terhadap perkembangan kecerdasannya. Bahkan di usia dewasa, ia akan menjadi kurang produktif.
Maka di sinilah kita diajak untuk lebih memahami lagi yang disebut gerakan 1000 Hari Pertama Kehidupan. 1000 HPK ini dimulai dari usia kehamilan sembilan bulan hingga bayi yang dilahirkan menginjak usia 2 tahun dan periode ini merupakan periode yang menentukan kualitas kehidupan. Ada yang menyebutnya sebagai "periode emas" dan  "periode kritis"3. 1000 HPK juga dipercaya berkontribusi dalam menentukan generasi Indonesia ke depannya, termasuk stunting atau tidakkah balita ini kelak.
Jika selama 1000 hari pertama kehidupan ibu dan orang terdekat calon bayi memperbaiki status gizi dan perilaku kesehatan mulai dari kecukupan LLA, memperhatikan kebersihan lingkungan, cukup akses terhadap air bersih, cuci tangan pakai sabun, tidak buang air sembarangan, makan makanan yang bergizi, rajin konsumsi tablet tambah darah, memberikan ASI Eksklusif dan rajin memantau petumbuhan balita, maka akan semakin banyak generasi masa depan bangsa Indonesia yang sehat dan cerdas. Juga masalah gizi kurang kronis dan gizi buruk akut dapat ditekan perkembangannya sehingga bantuan yang disalurkan pemerintah dapat terfokus dalam pengadaan pelatihan dan peningkatan pengetahuan ibu dalam memahami gizi dan kesehatan untuk sang anak dan keluarga. Selain ibu dan calon ibu, kader-kader kesehatan lainnya juga perlu mendapatkan pelatihan yang layak agar dapat memberikan pelayanan yang prima dan lebih terlatih lagi untuk menentukan status gizi balita melalui penimbangan berat badan dan pengukuran panjang/tinggi badan balita karena 0,1 cm dalam penentuan status gizi sangat berarti.
Daftar Pustaka
1 Riset Kesehatan Dasar, 2013.
2,3 Kerangka Kebijakan Gerakan 1000 Hari Pertama Kehidupan, 2013

Khimar Biru . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates